Banten, hipotesa.id – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menilai Kehadiran PT Wilmar Padi Indonesia (WPI) Group Wilmar di Provinsi Banten ambigu dan berpotensi merugikan para petani dan jasa penggilingan padi kecil.
Menurutnya, ditengah-tengah keadaan yang Ambigu ini pemerintah daerah harus mewaspadai operasi perusahaan tersebut untuk melindungi petani penggilingan kecil.
Di satu sisi memang kehadiran WPI dengan silo (tempat penyimpanan beras) berkapasitas 16.000 ton diyakini akan bisa mendorong penyerapan gabah dari petani. Artinya petani akan menjadi lebih mudah untuk menjual gabahnya.
Menurut informasi, perusahaan ini membeli gabah kering panen (GKP) dengan harga Rp5.500 per Kg. Harga ini merupakan harga yang fantastis dan merupakan harga yang tertinggi yang pernah terjadi di tingkat petani.
PT WPI merupakan perusahaan yang berfokus pada penyediaan beras premium. Perusahaan ini dinilai telah menguasai jalur pemasaran melalui pasar modern, didukung dengan mesin penggilingan padi berteknologi tinggi dari Jepang dengan merek “Satake”.
Dalam operasinya, PT WPI melakukan kontrak farming (bisnis pertanian) dengan petani. WPI menyediakan sarana produksi padi (Saprodi) sebagai bentuk pembayaran di muka atas produk padi petani (down payment).
“Di sisi ini ambigu terjadi. Harga GKP yang dibeli PT WPI Rp5.500 per Kg diyakini akan menaikan harga GKP secara keseluruhan. Akibatnya, para penggiling padi kecil tidak akan mampu menyaingi harga tersebut untuk mendapatkan bahan baku gabah untuk penggilingannya,” ujar Bayhaq Jefro wasekjend PB HMI.
Ia memprediksi bahwa pada tahun 2023, penggilingan padi kecil di wilayah Banten akan gulung tikar dan beralih menjadi penjual atau pemasok bahan baku ke WPI.
“Artinya para pengepul gabah yang biasanya memasok ke penggilingan padi kecil akan berhenti dan beralih ke PT WPI. Boleh jadi, penggilingan padi itu juga akan ikut-ikutan menjadi pemasok gabah,” lanjutnya.
Jika pemerintah abai, dan WPI tidak mengatur supplier nya maka ia memastikan penggilingan kecil hanya akan menjadi penonton atau hanya sekedar sebagai objek.
Menurut Data Neraca Pangan Banten yang dikeluarkan Dinas Ketahanan Pangan mencatat bahwa pada tahun 2022 produksi beras Banten Surplus 3 besar nasional.
Namun pasokan beras Banten justru defisit sebesar 234.690 ton. Dari data itu menunjukan bahwa produksi gabah di Banten tidak untuk memenuhi kebutuhan beras di Banten. Artinya, Banten melakukan pembelian kembali dalam bentuk beras sebanyak 103.082 ton dari dareah lain untuk mencukup kebutuhannya.
“Di titik ini, seharusnya pemerintah hadir untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, penggilingan padi kecil dan masyarakat (konsumen). Sebab kehadiran penggilingan padi kecil diyakini bisa memenuhi kebutuhan beras secara lokal dan tersebar merata di wilyah Banten,” tambahnya.
Hal ini sangat berbeda dengan WPI, pasokan gabahnya didapatkan dari Banten, namun pemasarannya ke luar Banten atau ke seluruh Indonesia, mengabaikan pemenuhan kebutuhan lokal.
“Pemerintah daerah harus peduli akan hal ini. Kewenangannya telah diatur dalam UU No.23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah pada pasal 12 ayat 2 tentang urusan wajib pemerintah darah, di antaranya tentang pangan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, UU No.18 tahun 2012 tentang pangan telah mengatur lebih rinci tentang wajibnya pemerintah daerah mewujudkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat.
Kepala daerah tentu saja bisa menerbitkan kebijakan, imbauan atau intervensi terhadap ketersediaan dan keterjangkauaan beras sebagai makanan pokok masyarakat melalui penugasan khusus BUMD yang bergerak di bidang agrobisnis.