hipotesa.id – Sebelum membahas terapi untuk penyakit pelit, sudah sewajarnya membedakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pelit itu sendiri. Karena tidak semua tindakan menahan harta bisa disebut pelit.
Terkadang, orang menahan harta supaya menutupi hajat hidup, antisipasi terhadap masa depan, atau demi sanak keluarga. Menurut Ibn Jawzi, hal tersebut bukan termasuk kategori pelit dan bukan juga hal yang tercela. Lalu, bagaimana kah seseorang bisa dikatakan pelit?
Ibn Jawzi dalam kitab Thib al-Ruhani menjelaskan, bahwa orang pelit ialah orang yang lalai memenuhi hak-hak yang semestinya dipenuhi. Selain itu, Ibn ‘Amr mengatakan “Tidaklah disebut orang pelit,orang yang menunaikan zakat.”
Dari perkataan di atas, dapat dipahami bahwa yang disebut pelit bukan saja sikap enggan berbagi terhadap sesama. Enggan memenuhi kebutuhan pokok pribadi, atau dengan kata lain enggan memenuhi hak yang semestinya dikeluarkan juga termasuk sikap pelit.
Dalam kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari, Rasulullah bertanya, “Adakah penyakit yang lebih parah dibandingkan pelit?”
Abu Muhammad al-Ramahramadzi berpendapat, Hadits di atas, menjelaskan pelit termasuk penyakit yang paling parah lantaran bisa merusak perangai, menurunkan martabat dan mengundang cacian. Sama hal nya dengan penyakit tubuh, pelit bisa mempengaruhi gairah kita, bahkan mengubah kondisi fisik kita.
Dalam hadits lain, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Umar, Nabi juga mengatakan, “Waspadalah sifat pelit, sebab ia telah mencelakakan orang-orang sebelum kamu; ia buat mereka terputus (terpisah) dari orang lain, ia juga membuat orang lain berprilaku bakhil (kepadanya), dan ia buat mereka berprilaku jahat (kepadanya).”
Obat penyakit pelit
Ibn Jawzi dalam Kitab Thib al-Ruhaniy, menjelaskan cara mengobati sifat pelit sebagai berikut:
Pertama, seseorang harus berpikir secara mendalam sampai ia sadar bahwa seluruh manusia yang miskin adalah saudaranya, bahwa sebenarnya bukan hanya mereka (orang-orang miskin) yang bergantung kepadanya, tetapi ia pun sejatinya sangat bergantung kepada mereka.
Kedua, ulurkan tangan kepada mereka sebagai wujud syukur kepada Allah.
Ketiga, merenungi betapa agungnya orang dermawan dan betapa terkecohnya orang merdeka yang lalai memperlakukan orang-orang miskin dengan baik.
Keempat, renungilah betapa sifat-sifat jahat akan menancap kuat dalam dirinya jika saja ia pelit.
Kelima, yakinlah bahwa segala milik kita akan ditinggalkan dengan hina, karena itu, segera keluarkan harta itu sebelum ia sendiri dikeluarkan.
Sesungguhnya orang yang dermawan sejatinya ialah orang paling merdeka, sebagaimana yang dijelas para filosof, “Orang dermawan itu merdeka, sebab ia menguasai hartanya. Sementara orang pelit sejatinya ialah budak, sebab ia yang dikuasai hartanya.”
Sumber: Kitab Thib al-Ruhaniy karya Ibn Jawzi
Penulis: Cak Muhaimin
Editor: Bd Chandra