Oleh: Anang Azhari
hipotesa.id – Menjelang pemilu tahun 2024 tahapan awal yang dilakukan adalah pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Pada pelaksanaan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu di pemilu 2019 lalu KPU RI selaku pelaksana tahapan yang menerima pendaftaran dan melakukan verifikasi terhadap partai politik calon peserta pemilu melalui Peraturan KPU partai politik calon peserta pemilu diwajibkan mengisi data di Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) sebagai salah satu syarat mendaftar sebagai parpol calon peserta pemilu.
Penggunaan SIPOL pada pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu ini dianggap sebagai upaya KPU mendorong partai politik memperbaiki struktur dan keanggotaannya, dimana selain mengisi data persyaratan sebagaimana tertuang dalam pasal 173 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Partai Politik juga wajib mengisi daftar keanggotaannya lengkap by name, by identity dan by address pada SIPOL yang disediakan oleh KPU.
Beberapa waktu yang lalu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 memutuskan bahwa yang sudah lolos ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya tidak lagi mengikuti kegiatan verifikasi faktual. Ini berarti untuk pemilu 2024, 9 partai politik yang sekarang ada di DPR RI mendapatkan keistimewaan serta keuntungan yang mana 9 partai politik tersebut hanya akan mengikuti kegiatan verifikasi administrasi saja, sedangkan keanggotaannya tidak dilakukan pengecekan langsung ke lapangan (verifikasi faktual) oleh KPU.
Sementara bagi partai politik yang pada pemilu 2019 kemarin tidak lolos ambang batas parlemen dan partai politik baru, diwajibkan mengikuti kegiatan verifikasi keduanya yaitu verifikasi administrasi dan kegiatan verifikasi faktual berupa verifikasi langsung kepada anggota parpol yang sudah dientry dan disetorkan daftar keanggotaannya tersebut ke KPU.
Hal diatas tentu mengandung sedikit ketidakadilan bagi partai politik baru maupun partai politik yang 2019 kemarin tidak lolos ambang batas parlemen. Selain rasa ketidakadilan proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu tahun 2019 kemarin saja dirasa masih banyak yang harus diperbaiki, kualitas daftar nama anggota parpol yang disetor dan diinput parpol kedalam SIPOL KPU sepertinya masih jauh dari kata benar dan sesuai.
Bagaimana tidak banyak kasus pencatutan nama dan KTP El yang dilakukan oleh beberapa oknum partai politik sama halnya kasus pencatutan dukungan pada calon perseorangan di Pilkada merupakan kejahatan demokrasi. Selain itu pada pola verifikasi yang dilakukan secara sampling juga masih dirasa kurang untuk menyaring data data palsu tersebut. Contoh seperti apa yang terjadi di 2017 lalu tepatnya di daerah Kota Mobegu dan Bolaang Mongondow ada beberapa ASN membuat laporan kepada kepolisian karena namanya masuk kedalam daftar anggota partai politik dan masuk ke dalam SIPOL partai politik yang dijadikan sebagai syarat verifikasi parpol pada waktu itu.
Selain itu, masalah klasik akibat pencatutan keanggotan tersebut juga seringkali terjadi pada masyarakat yang hendak menjadi penyelenggara pemilu. Seseorang yang tidak tahu menau bahwa dia anggota parpol harus terganjal ketika pengawas pemilu maupun KPU mengidentifikasi orang tersebut adalah pengurus dan/atau anggota parpol.
Aspek regulasi juga suda tentu harus diperkuat dan diperbaiki, kasus pemilu 2019 pada tahapan verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2019 yang mana Bawaslu kurang mendukung SIPOL digunakan sebagai salah satu syarat pendaftaran partai politik. Melalui putusan terhadap laporan 002/ADM/BWSL/PEMILU/X/2017 Bawaslu menganggap SIPOL bukan merupakan prosedur bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu.
Untuk itu sebagai upaya memperkuat demokrasi dan melawan kejahatan demokrasi sebagaimana diatas, salah satu cara yaitu dengan membuka akses keanggotan partai politik yang ada di SIPOL kepada publik. Partai politik harus mempertanggung jawabkan keanggotaan yang sudah mereka entri ke SIPOL kepada publik. Selama ini publik hanya bisa mengakses data dan jumlah kepengurusan partai politik dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan beserta alamat kantor dan status badan hukumnya, sedangkan daftar rinci keanggotaan partai politik tidak dapat diakses oleh publik.
KPU mungkin berpendapat bahwa apabila data keanggotan partai politk akan membahayakan dan memudahkan target politik uang dan potensi intimidasi terhadap anggota partai politik. Tetapi alasan tersebut sangatlah lemah karena masalah politik uang bukan semata-mata karena keberpihakan pemilih melainkan masalah klasik bangsa ini yang sudah membudaya dan perihal membahayakan jika data tersebut dibuka, dirasa jika data keanggotan partai politik yang rinci by name, by address dan by identity dengan menutup nomor NIK dan NKK seperti daftar pemilih tidak akan mengakibatkan stabilitas politik maupun sosial ini terganggu terutama pada tahapan pemilu.
Jika kita berkaca pada UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, semua data dan persyaratan pada pasal 173 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum sepanjang tidak dikecualikan dalam UU keterbukaan informasi publik semestinya dibuka dan boleh diakses oleh publik termasuk data rinci keanggotan partai politik di SILON KPU. Maka untuk itu, sebaiknya data keanggotaan partai politik yang sudah dijadikan sebagai bahan pendaftaran dan verifikasi oleh partai politik tersebut di buka kepada publik. Pembukaan data tersebut bisa dengan dibukanya akses pada SIPOL untuk publik.
Selain kepentingan publik, pengawas pemilu pun tidak akan kerepotan dalam mengidentifikasi calon penyelenggara yang diduga terlibat dalam kepengurusan dan/atau keanggotaan partai politik. Bawaslu pun yang pada tahapan verifikasi partai politik calon peserta pemilu tahun 2019 dirasa sedikit “mempermasalahkan” terobosan KPU dalam penggunaan SIPOL pada tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta pemilu tahun 2019, ternyata Bawaslu pun mendapatkan “manfaat” dari SIPOL itu sendiri.
Bawaslu pada tahapan pembentukan Panwaslu Desa/Kelurahan dalam Keputusan nomor 0215/K.BAWASLU/KP.01.00/II/2020 tentang pedoman pelaksanaan pembentukan Panwaslu Desa/Kelurahan pada penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020, untuk menjaring dan memeriksa kepastian keanggotan partai politik terhadap calon Panwaslu Desa/Kelurahan Bawaslu pun meminta “bantuan” KPU untuk mengecek daftar calon pengawasnya tersebut di SIPOL KPU.
Dengan demikian jika SIPOL KPU membuka akses keanggotaan partai politik kepada publik diharapkan akan memberikan dampak yang lebih positif dan lebih bermanfaat bagi semua pihak.
Pertama, akan mendorong partai politik untuk lebih profesional dengan tidak sembarangan mencatut data dan KTP El orang untuk dimasukan kedalam daftar keanggotaan.
Kedua, jika ada pencatutan seperti poin pertama, publik sendiri dan pihak-pihak yang berkepentingan akan mengawasi dan melihat selayaknya publik bisa mengecek terdaftar atau tidak nya seseorang dalam daftar pemilih sehingga apabila ada kejahatan demokrasi model seperti itu bisa dipermasalahkan secara hukum.
Ketiga, sebagai bentuk transparansi seluas-luasnya dari lembaga publik seperti KPU kepada publik sebagaimana amanat undang-undang keterbukaan informasi publik bahwasanya informasi publik itu merupakan informasi yang dikelola, disimpan oleh lembaga publik dan semestinya informasi tersebut menjadi hak publik untuk tahu.
Tentang penulis: Anang Azhari, merupakan Koordinator Umum Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP)