Soal konflik internal Partai Demokrat kita gak ikutan dan soal kelompok siapa yang sah berkuasa secara hukum pada Partai Demokrat itu pun menjadi kewenangan pengadilan yang menentukan. Tapi argumentasi hukum Yusril Ihza Mahendra (selanjutnya ditulis YIM) untuk menguji AD/ART Parpol melalui Judicial Review sangat tidak mungkin untuk diabaikan. Di antara argumentasi YIM, “jika ada pasal dalam AD/ART Parpol dianggap tidak sejalan bahkan menabrak norma UU atau UUD, maka institusi mana yang berhak mengujinya?” Pertanyaan ini saja sudah pasti akan mendobrak kejumudan intelektual.
Selama ini posisi Parpol berada pada ruang ambigu, apakah dia lembaga negara, lembaga publik, atau hanya sekadar properti keluarga dalam ruang private yang berdampak penting pada publik? Kajian-kajian tentang banyak aspek dalam partai politik di Indonesia sejauh ini hampir belum menyentuh pada aspek-apek yang akan terbongkar oleh pertanyaan sederhana YIM.
Posisi tulisan ini, hanya sekadar sambutan kegembiraan atas gagasan YIM untuk menerobos kejumudan itu. Banyak studi tentang sisi gelap partai politik dalam perpolitikan Indonesia, makin mutakhir kajian itu makin menempatkan Parpol sebagai bandul pemberat kemajuan. Parpol menjadi institusi tempat bersarangnya keserakahan oligarki ekonomi dan politik. Beberapa mekanisme prosedural dalam partai, yang semestinya pada era reformasi, menjadi ruang paling terbuka, justru sebaliknya menjadi ruang paling tertutup, gelap, dan sentralistik.
Sebut saja misalnya tentang keuangan partai politik. Sampai dengan pemilu terakhir era reformasi keuangan partai politik menjadi ruang seakan-akan terbuka tapi aslinya tertutup sekaligus menjadi pusat pengendalian kekuasaan partai. Cita-cita tranparansi keuangan dalam lembaga partai politik harus dikubur dalam-dalam. Semuanya mentok! Tak ada satu partai pun yang mencita-citakan hal ini.
Pemilu adalah sisi gelap lainya. Aktor utama pemilihan umum adalah partai. Mulai dari penyusunan regulasi hingga diujung akhir dari prosesnya, partai adalah pelaku utama. Kualitas pemilihan umum menjadi gambaran sangat terang dari kualitas partai politik dalam perebutan kekuasaan. Kita sudah punya kesimpulan masing-masing tentang kualitas Pemilu terakhir kita. Burhan Muhtadi, bahkan secara sarkastis menuliskanya sebagai “kuasa uang”.
Demikian juga ruang tertutup terjadi pada proses keputusan partai berkaitan hal penting dalam dinamika hubungan partai politik dalam membentuk pemerintahan dan menjaga stabilitas pemerintahan, kapan koalisi kapan bubar, kenapa harus koalisi kenapa tidak, publik hanya mampu berspekulasi tanpa ada ruang partisipasi, bahkan ketertutupan ini khas akibat dari penguasaan partai oleh segelintir elite dengan motivasi transaksional yang amat kental dan terlalu sering memunggungi kepentingan publik. Mungkin ini ciri-ciri negara gagal yang disebut Daron Acemoglu sebagai institusi politik yang tertutup dan ekstraktif.
Sungguh, secara akademis dobrakan terobosan hukum YIM sangat mungkin menjadi pintu masuk yang akan banyak membuka partisipasi publik dalam dinamika partai melalui jalur hukum. Ruang gelap dalam partai politik harus bisa diterobos oleh banyak instrumen pengujian dalam ranah hukum tata negara.
YIM memilih Mahkamah Agung (MA) melalui upaya Judicial Review untuk menguji AD/ART partai politik terhadap UU. Apakah Mahkamah Agung berwenang? Itulah justru terobosannya. Majlis hakim dalam judicial review diberikan “umpan lambung” bergizi secara akademis. MA ditantang untuk dapat menemukan hukum, menetapkan sesuatu hukum di tengah kekosongan hukum, sesuatu yang memang sudah menjadi amanat undang-undang kepada para Hakim Agung di MA.
Banyak kekosongan hukum yang harus diputuskan MA berkaitan eksistensi aturan dasar dalam partai politik. Apakah bentuk hukum dari AD/ART partai? Apakah hanya sekadar perikatan perdata bersegi banyak? Apakah diposisikan sebagai produk hukum lembaga publik yang bersifat bersegi satu? Apakah kewenangan atributif yang melekat pada Menteri Hukum dan HAM dalam mengesahkan AD/ART partai juga sekaligus melekat kewenangan untuk mengujinya terhadap UU? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan diikuti oleh konsekuensi tentang kewenangan institusi mana yang akan menguji norma hukum dalam sebuah AD/ART partai politik. Selama ini AD/ART partai politik tersembunyi sebagai produk internal partai yang hanya dilakukan perubahan dan penyesuaian dalam forum pengambilan keputusan tertinggi dalam partai. Dan kita semua sudah faham, untuk kepentingan siapa perubahan dan penyesuaian itu dilakukan. Sangat pragmatis dan bergantung pada kehendak elite dalam partai.
Itu baru sisi materiil. Saya bisa bayangkan jika majlis hakim di MA juga menggunakan kesempatan ini untuk menggunakan kewenanganya dalam melakukan uji formil atas sebuah produk hukum dalam kekuasaan tertinggi partai politik. Jika terjadi demikian, sebuah pintu kemajuan telah dibuka oleh Mahkamah Agung untuk menguji demokratis atau tidaknya suatu proses pembentukan AD/ART dalam suatu Parpol, sah atau tidaknya pemilihan ketua umum partai bisa diuji oleh MA dan dibenturkan dengan norma dalam UU dan UUD, maka ini akan jadi terobosan politik teramat penting di tengah situasi partai politik yang makin tertutup dan oligarkis.
Sebagai mahasiswa Hukum Tata Negara, saya selalu hormat dan bersemangat dengan gagasan-gagasan progresif dari Prof Yusril Ihza Mahendra. Salam hormat, Prof Yusril!
* Yayat Biaro adalah Praktisi Hukum dan Mantan Anggota DPR RI Periode 2014 – 2019