Saat ini di Indonesia masih banyak anak-anak yang tidak dapat mengemban pendidikan atau bahkan putus sekolah karena kendala finansial. Padahal, pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk masa depan masyarakat dan bangsa. Jika masyarakat tidak dapat merasakan pendidikan yang memadai bagaimana sebuah negara bisa berkembang? Pertanyaan ini menjadi refleksi penting bagi kita semua, apakah negara benar-benar hadir untuk memastikan hak belajar setiap anak terpenuhi?
Pendidikan merupakan hak fundamental bagi setiap individu, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dengan bersekolah, anak-anak akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berhasil dalam kehidupan. Melihat bagaimana daya saing global saat ini, negara membutuhkan lulusan-lulusan yang berkualitas agar dapat bersaing dengan negara lainnya.
Sebab berdasarkan data dari World Population Review menunjukkan bahwa Indonesia hanya menempati peringkat ke-67 dunia dalam sistem pendidikan terbaik tahun 2025, sementara menurut UNESCO, Indonesia berada di urutan ke-10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia-Pasifik. Fakta ini menunjukkan bahwa meski secara normatif hak pendidikan dijamin, secara praktis masih banyak warga negara yang tertinggal dalam mengaksesnya. Dengan kata lain, antara regulasi dan realitas masih terdapat jurang yang cukup lebar.
Kesenjangan tersebut semakin tampak jika kita meninjau data yang disampaikan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen mencatat ada 3,9 juta anak yang tidak bersekolah saat ini. Sebanyak 881.168 anak tidak bersekolah karena putus sekolah, 1.027.014 anak sudah lulus tapi tidak melanjutkan sekolah dan 2.077.596 anak belum pernah bersekolah.
Menurut saya, angka-angka ini adalah potret nyata dari anak-anak bangsa yang kehilangan kesempatan untuk bermimpi. Kementerian Pendidikan juga menyebutkan faktor ekonomi merupakan penyebab utama anak-anak tidak bersekolah atau putus sekolah. Faktor penyebab anak tidak sekolah karena tidak ada biaya tercatat sebanyak 25,55 persen.
Berbagai studi nasional menekankan bahwa keterbatasan ekonomi secara struktural memiliki kontribusi besar terhadap meningkatnya angka putus sekolah. Hasil analisis Bappenas (2023) menunjukkan bahwa keluarga dengan pendapatan kuintil terbawah memiliki kemungkinan putus sekolah2,4 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok atas. Kusumah (2008) mengatakan bahwa permasalahan remaja putus sekolah merupakan persoalan yang besar dan serius.
Persoalan ini tidak hanya sekedar ketidakberdayaan atau hanya putus sekolah tetapi persoalan berkurangnya sumber daya manusia yang berkualitas. Keadaan ini nantinya akan mengancam kelangsungan hidup dan masa depan bangsa Indonesia ketika jutaan generasi penerus bangsa mengalami putus sekolah. Kondisi ini harus dipahami sebagai ancaman laten bagi keberlanjutan bangsa ketika jutaan generasi penerus kehilangan hak dasarnya untuk belajar.
Dari sudut pandang lain, kemiskinan dan pendidikan memiliki hubungan yang jelas, bahwa kondisi ekonomi keluarga mempengaruhi kelanjutan pendidikan anak karena keterbatasan ekonomi menghambat pemenuhan kebutuhan pendidikan seperti biaya sekolah, buku dan fasilitas pendukung lainnya. Tingginya biaya pendidikan mempengaruhi keputusan orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Keluarga dengan pendapatan rendah merasa keberatan dengan biaya tinggi yang dikeluarkan untuk pendidikan. Akhirnya banyak anak-anak yang akhirnya putus sekolah dan membantu keluarga mencari nafkah.
Dalam kehidupan yang serba kekurangan, orang tua mengharapkan anaknya bisa membantu bekerja, sekolah bukan merupakan prioritas bagi orang tua yang berkekurangan, karena sekolah tidak dapat membantu mereka dengan segera. Anak-anak yang putus sekolah sebagian besar menjadi pekerja anak, termasuk anak jalanan dan sebagian lagi menganggur. Rantai sosial ini terus berulang, menandakan bahwa pendidikan dan ekonomi saling mengikat dalam lingkaran yang sulit diputus.
Karena itu, peran pemerintah dalam membantu anak-anak yang kurang mampu sangat krusial. Pemerintah melalui program PIP merupakan upaya nyata untuk menangani masalah putus sekolah. PIP atau Program Indonesia Pintar adalah bantuan berupa uang tunai, perluasan akses dan kesempatan belajar dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin untuk membiayai pendidikan.
Peserta didik yang mendapatkan bantuan PIP akan memiliki identitas dalam bentuk kartu yang disebut Kartu Indonesia Pintar (KIP). PIP ini bertujuan (1) menghilangkan hambatan ekonomi bagi anak dalam mengakses fasilitas dan layanan pendidikan yang lebih baik; (2) mengurangi kemungkinan anak putus sekolah dan mendorong anak yang putus sekolah kembali bersekolah; (3) membantu anak dan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan kegiatan pembelajaran termasuk untuk mengurangi biaya personal pendidikan bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin atau rentan miskin; serta (4) mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun, bagi peserta didik yang terdaftar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah/sederajat, baik di satuan pendidikan formal maupun nonformal.
Namun, efektivitas PIP masih menghadapi sejumlah kendala, seperti kurangnya sosialisasi, ketidaktepatan sasaran penerima, serta keterlambatan pencairan dana. Tanpa perbaikan sistem distribusi dan pengawasan, kebijakan ini berisiko menjadi sekadar administrasi bantuan tanpa dampak substantif terhadap pemerataan pendidikan. Meski begitu, sejauh ini PIP tergolong efektif dalam menekan angka putus sekolah, dan diharapkan terus disempurnakan agar benar-benar menyentuh akar persoalan ketimpangan pendidikan.
Selain pemerintah peran masyarakat juga dibutuhkan dalam menangani masalah anak-anak yang putus sekolah karena keterbatasan finansial. Upaya yang bisa dilakukan seperti memberikan pelayanan sosial untuk anak-anak yang putus sekolah terutama remaja. Pelayanan sosial bagi remaja yang putus sekolah tentu sangat diperlukan agar remaja tersebut tetap dapat melaksanakan tugasnya di masyarakat sesuai dengan perannya selain itu juga dapat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Masyarakat yang memiliki keahlian di bidang tertentu bisa menjadi guru sukarela atau mentor belajar.
Pelayanan sosial yang dapat diberikan bisa berupa bimbingan mental agama, bimbingan sosial dan fisik, bimbingan keterampilan dan Praktek Belajar Kerja (PBK). Ketika remaja putus sekolah yang telah mendapatkan pelayanan sosial telah mampu melaksanakan tugasnya secara baik di masyarakat, maka pelayanan sosial tersebut dikatakan berhasil. Selain itu masyarakat juga dapat memberikan dukungan finansial, masyarakat bisa bergotong-royong membuat dana beasiswa lokal untuk anak-anak yang putus sekolah di lingkungan sekitar mereka.
Putus sekolah memberikan dampak luas dan jangka panjang. Dampaknya terhadap masa depan anak adalah anak akan memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal; dan sulit mendapatkan pekerjaan layak. Padahal kita tahu, secara sosial dan psikologis, pendidikan adalah membentuk karakter, keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis. Tanpa pendidikan, anak-anak pada akhirnya cenderung kekurangan keterampilan dalam menghadapi tantangan hidup, rentan terkena depresi, kurang percaya diri dan sulit berinteraksi dengan orang lain.
Dampaknya juga terhadap perekonomian keluarga adalah anak yang putus sekolah biasanya hanya bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah rendah, sehingga pendapatan keluarga tetap tidak stabil dan rendah. Keterbatasan pendapatan yang diperoleh anak yang putus sekolah memperkecil kemungkinan keluarga untuk maju secara ekonomi, sehingga memperpanjang siklus kemiskinan keluarga. Dampaknya untuk kemajuan bangsa adalah kurangnya tenaga kerja yang terampil berdampak langsung pada kemampuan negara untuk berinovasi dan berkembang; tingginya angka putus sekolah menjadi penyebab jumlah pendapatan pajak berkurang; kesenjangan antara mereka yang berpendidikan dan tidak berpendidikan dapat memperburuk ketidakadilan sosial; menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus dan dapat berlanjut ke generasi berikutnya.
Semua fakta dan data tersebut menuntun pada satu kesimpulan penting bahwa pendidikan merupakan investasi sosial dan moral yang menentukan arah masa depan bangsa. Karena itu, komitmen terhadap pemerataan pendidikan tidak boleh berhenti pada wacana atau bantuan sesaat. Diperlukan keberpihakan kebijakan yang bersifat struktural melalui penguatan sistem beasiswa berbasis kebutuhan, peningkatan akuntabilitas program bantuan, serta sinergi antara negara dan masyarakat dalam menjamin setiap anak memperoleh haknya untuk belajar. Jika negara ingin keluar dari lingkaran kemiskinan pendidikan, maka pemerataan akses harus disertai reformasi kebijakan yang berlandaskan pada prinsip keadilan sosial. Sebab, pendidikan pada akhirnya adalah cermin sejauh mana sebuah negara menghormati martabat warganya.
 
	    	 
		     
					


 
                                






