Memulung merupakan aktivitas keseharian Pak Ali (56) beserta istrinya di Tempat Pengelolaan Sampah Akhir (TPSA) yang terletak di Kampung Bagendung, Kecaman Cilegon, Kota Cilegon. Aku siang itu sengaja menghampiri Pak Ali yang sedang istirahat di gubuknya yang reot dan bersanding duduk di kursi mendengarkan setiap curahan pengalamannya di tempat ini selama puluhan tahun. Pak Ali bukanlah satu-satunya pemulung yang ku temui siang itu. Masih ada beberapa orang lain yang sibuk melakukan pekerjaannya diatas tumpukan sampah, memungut sisa-sisa buangan warga kota yang berserakan dan memancarkan aroma tidak sedap.
“Tiap hari seperti ini pak?,” tanyaku, memecah kesunyian saat semuanya selesai diutarakan.
“Iya, tiap hari seperti ini,” jawabnya seperti sedang meratapi nasib.
Truk sampah melintas di depanku masuk ke TPSA Bagendung. Di bodi pintu truk yang berwarna kuning tua itu terlihat jelas tulisan ‘Dinas Lingkungan Hidup Kota Cilegon Tahun 2017’.
Tak terasa aku duduk sudah menghabiskan satu batang rokok. Terik mentari siang itu di kota Cilegon rasanya dekat sekali dengan ubun-ubun. Ditambah dengan angin kencang yang seolah sedang melempari kami dengan aroma busuk sampah.
“Bapak, memang biasanya bau sampah menyengat seperti ini?,” tanyaku lagi, kali ini sembari menahan muka agar tak terlihat tidak bersahabat dengan sampah.
“Emang bau ya? Hahaha… Cungur kite mah uis behal (hidung saya sudah kebal),” dengan menggunakan bahasa daerahnya beliau menjawab sambil berbahak-bahak seperti sedang menertawakan keadaan yang suram.
Wajar saja kalau Pak Ali kebal dengan bau sampah, sudah sejak lahir ia menetap disini. Bapak empat anak itu juga menjadi saksi bagaimana kali yang menjadi sumber penghidupan warga sekitar dan ladang tempat dimana mereka bercocok tanam, ditimbun menjadi tempat pembuangan sampah hingga menggunung.
“Dulu kami mandi di kali itu,” kata Pak Ali sembari mengangkat telunjuk menunjukan tempatnya kepada ku, dan menyingkirkan lalat yang terus melayang-layang di depan mukanya.
Walau begitu, dia mengakui bahwa sebetulnya ia tak bisa berdamai dengan bau sampah yang diangkut dari Pasar Induk. Maklum, beda dengan truk yang membawa sampah rumah tangga. Truk dari Pasar membawa sampah-sampah sayuran atau buah busuk.

Sampah Bagendung juga mencemari air sumur yang berubah keruh dan bau. Akibatnya, sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat sekitar harus membuat sumur bor masing-masing dan ada juga yang menggunakan air dari PDAM, dengan tidak disadari kebutuhan biaya air perbulan kurang lebih berkisar hingga Rp. 100.000 lebih.
Dihadapan sebelah kiri, ada beberapa pemulung yang lincah sekali memungut plastik dengan batang besi sederhana bersudut 90 derajat. Dengan ujung besi yang lancip, mereka tampak tidak pernah merasa terhambat dengan bau busuk sampah atau terik mentari yang menyengat.
Sumyati, biasanya bekerja sejak pukul 09.00 hingga 16.00 Wib. Jika sedang beruntung, ia bisa mengumpulkan sampah berjenis plastik dan kertas hingga mencapai 200 kg. Namun itu sangat jarang sekali didapatinya, karena sampah yang banyak masuk adalah sampah-sampah sisa makanan dan sayuran busuk.
Sumyati akan memisahkan sampah-sampah yang sudah ia kumpulkan berdasarkan jenis: plastik, kertas, dan besi kaleng. Plastik pun dipisahkan lagi antara yang berwarna dan tidak berwarna. Setelahnya sampah-sampah itu akan dimasukkan kedalam karung ball.
“Satu kuintal itu 3-4 ball,”
Memilih sampah itu tak sembarangan. Ia harus memilah mana sampah yang dapat dijual dan mana yang tidak.
“Nanti kami dikira nipu bos,”
Yang dimaksud bos oleh Sumyati adalah para pengepul. Mereka pada umumnya datang menggunakan mobil pick up. Para pemulung langsung sibuk mengangkat karung-karung ball jika bos datang.
Pada tahun 2019, sempat terjadi kebakaran besar di TPSA Bagendung. Tak kurang dari enam hari api melahap gunungan sampah yang asapnya hampir menutup desa sekitar dan membuat batuk warga.
Eti, salah seorang penjaga warung kopi membenarkan cerita kebakaran tersebut, dan menyaksikan mobil-mobil pemadam hilir mudik di depan rumahnya.
“Banyak mobil pemadam kebakaran hilir mudik waktu itu. Seingat saya, api baru bisa dipadamkan setelah enam hari berlangsung,” tak ada kata setelahnya.
Entah sampai kapan orang-orang yang aku temui akan terus bekerja sebagai pemulung di TPSA Bagendung. Mungkin saja mereka memang tak punya pekerjaan lain, dan satu-satunya cara bertahan hidup dari kerasnya derita perkotaan adalah dengan memulung sampah hingga waktu yang tidak pernah bisa dipastikan.
Reporter: Birin Sinichi
Penulis: Birin Sinchi
Editor: Samsul Ma’arif