Oleh: Hamdan Suhaemi
hipotesa.id – Mengkaji pemikiran filsuf Barat seperti meluruskan benang basah, sulit tapi lama untuk segera dipahami. Sekian banyak filsuf itu, saya lebih tertarik pada filsuf udik macam Immanuel Kant. Kedisiplinanya terhadap waktu dan prinsip hidup, menjadi tauladan tentunya.
Immanuel Kant, terlahir di Königsberg, Kerajaan Prusia, 22 April 1724. Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia. Dia berasal dari keluarga pengrajin yang sederhana. Ketika Kant masih muda, usaha ayahnya bangkrut. Kehidupan mereka harus didukung oleh keluarga besar orang tuanya. Kant penuh dengan kerendahan hati dan sangat disiplin.
Kant menempuh pendidikan dasar di Saint George’s Hospital School, kemudian melanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist. Keluarga Kant memang penganut agama Pietist, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci.
Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di Universitas Königsberg dan mempelajari filsafat, matematika, dan ilmu alam. Untuk meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat ( privat dozen ) selama tujuh tahun dan pada masa itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah.
Pada tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada tahun 1770.
Dalam tulisannya terkait Kant dan rasio murni, Yohanes Wahyu Prasetyo ( teman di STF Driyarkara ) begitu detil menjelaskan soal rasio murni yang kebetulan itu sebagai tiga pokok pemikiran Kant, sekaligus itu identik dengan karakteristik Kant sebagai filsuf yang kaku, Kant lalu disebut sebagai pemikir raksasa meski dengan kondisi tubuhnya yang kecil.
Pemikiran Immanuel Kant semua tertuang dalam tiga karya babon, ini juga kemudian dikatakan sebagai Kantianisme yang mewarnai Eropa di era Aufklarung abad 18 M. Ucapannya yang terkenal Spare Aude ( beranilah berfikir sendiri ) disimbolkan sebagai zaman dimana pencerahan di Eropa, khusus Prusia tengah pesatnya.
Immanuel Kant dan Rasio
Yohanes Wahyu Prasetyo, detil sekali menjelaskan konsep-konsep dasar tentang rasio. Ia mengurai secara sistematis sesuai priode pemikiran Kant yang benar-benar sangat teliti.
Pertama, kritik atas rasio murni (critique of pure reason). Kedua, kritik atas rasio praktis (critique of practical reason). Ketiga, kritik atas daya pertimbangan (critique of judgement).
Kant dalam critique of pure reason mendamaikan rasionalisme dan empirisme. Terkait hal ini, Kant menjelaskan tiga tahap pengenalan. Pertama, tahap indrawi, di mana pengenalan melibatkan bentuk (apriori) dan materi (aposteriori). Oleh karena itu, ketika mengamati objek, yang diamati bukan sekadar benda pada dirinya. Melainkan salinan (copy) dari benda tersebut dalam bentuk daya lahiriah dan batiniah. Hal ini disebut penampakan, gejala, dan fenomena.
Kedua, tahap akal, di mana Kant membedakan antara akal (verstand) dan rasio (vernunft). Akal bertugas mengatur data indrawi, membuat putusan. Sedangkan rasio bertugas menyusun putusan.
Ketiga, tahap rasio, di mana rasio bertugas menarik kesimpulan dari putusan yang telah dibuat oleh akal (membuat argumentasi). Jika tugas akal adalah membuat putusan dari data indrawi, maka tugas rasio yaitu menggabungkan berbagai macam putusan. Terkait hal ini, Kant membuat argumentasi berdasarkan tiga ide yang bersifat apriori, yaitu jiwa, dunia, dan Allah.
Kant dalam critique of practical reason menunjukkan bahwa rasio praktis memberikan perintah mutlak, imperatif kategoris. Terkait hal ini, rasio membutuhkan tiga postulat, yaitu kebebasan kehendak, imortalitas jiwa, dan Allah.
Kant dalam critique of judgement memaparkan empat gagasan penting. Pertama, kualitas, di mana keindahan dirumuskan sebagai objek rasa puas yang bersesuaian dengan selera. Ciri rasa puas yaitu adanya sikap tanpa pamrih (disinterested). Sedangkan selera merupakan kemampuan mempertimbangkan objek atau bentuk representasi berdasarkan rasa senang atau tidak senang.
Kedua, kuantitas, di mana keindahan dirumuskan sebagai sesuatu tanpa konsep, memberi rasa senang universal. Oleh karena itu, keindahan bukan hasil dari pengalaman (aposteriori), melainkan kondisi pertimbangan estetis dalam rasio (apriori).
Ketiga, finalitas, di mana keindahan merupakan forma finalitas objek. Perlu diketahui bahwa finalitas adalah tujuan dari keberadaan objek yang memberikan rasa senang. Terkait hal ini, ada dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas (free beauty) dan keindahan bersyarat (dependent beauty).
Keempat, rasa senang yang niscaya, di mana segala sesuatu lepas dari konsep. Terkait hal ini, segala sesuatu ditangkap sebagai objek yang memberikan rasa senang. Karena objek seni merupakan sumber kesenangan.
Meniru Disiplin Kant
Immanuel Kant, saat menjadi dosen hingga guru besar di Konigsberg dikenal umum dengan hidupnya yang sangat disiplin, dan sederhana. Setiap hari ia jalani dengan jadwal yang sudah sangat tersistematisasi.
Orang konon bisa menebak dengan mudah pada jam ini ia berada di mana dan sedang melakukan kegiatan apa. Kedisiplinan hidup inilah yang memungkinkan Kant menulis begitu banyak karya yang fenomenal.
Dalam bahasa santri, sang filsuf ini memiliki kemampuan haibah dalam istiqomahnya mengatur waktu. Keikhlasan dalam upaya pencerahan adalah sisi lain dari pribadi Kant yang inklusif, dan egaliter.
Menjadi pendidik, tentunya tidak melewatkan begitu saja tauladan dari filsuf raksasa ini. Jarang kita temukan seperti halnya pemikir besar, guru besar dan sang pembangun aliran filsafat Kantianisme ini.
Tentang penulis: Hamdan Suhaemi merupakan Ketua Rijalul Ansor Provinsi Banten dan Wakil Ketua PW GP Ansor Banten