Oleh : Ikhsan Ahmad
hipotesa.id – Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa Provinsi ini memiliki segudang pengalaman buruk tentang korupsi dana hibah?. Mengapa celah baru untuk bisa korupsi seakan lebih menarik dijadikan pengalaman baru untuk terulang, sehingga ada persamaan persoalan dana hibah yang terulang di Provinsi Banten.
Persamaan persoalan itu dapat dilihat dari tiga faktor:
Pertama, ada organisasi pengepul proposal (OPP) yang bekerja untuk memobilisasi dana hibah, hal ini seharusnya penting disadari memberikan celah adanya potensi pemotongan dengan segudang dalih.
Kedua, Pemprov selalu merasa kecolongan setelah kejadian, padahal peraturan Gubernur yang mengatur pemberian dana hibah jika diikuti dan diimplementasikan dengan baik, menutup semua cela terjadinya korupsi.
Ketiga, yakni waktu dan kondisi pemberian dana hibah selalu dekat dan “didekatkan” dengan momentum kontestasi politik, orientasi membentuk citra kekuasaan, yakni Pilgub mendatang.
Perlu diingat, ketika dana hibah 2020 disalurkan keputusan untuk Pemilu serentak 2024, hal tersebut belum menjadi wacana dan keputusan Pemerintah Pusat. Asumsi kuat Pilgub Banten yang akan dilaksankan masih ditahun 2022. Ada pula nilai tragis dalam kasus korupsi hibah Bansos untuk Ponpes tahun 2020 ini.
Pertama, adanya pendampingan KPK dalam proses pemberian dana hibah, setidaknya ada koneksi aplikasi penyaluran dana hibah dengan link di KPK. Bahkan jauh sebelum kasus ini mencuat, Pemprov telah lama meminta KPK untuk mengawal proses pembangunan di Banten, namun pendampingan ini terkesan sia-sia.
Kedua, penetapan tersangka kasus korupsi dana hibah saat ini, menimbulkan pertanyaan besar, benarkah dengan posisi dan jabatan yang mereka sandang mampu menjadi pemain tunggal, yang dapat memutuskan potongan dana hibah dan menentukan penerima dana hibah?. Dalam pikiran yang waras tentu saja bahawan seperti mereka menjalankan perintah dari atasan.
Berangkat dari niat dan kebijakan Pemprov untuk memberikan bantuan dana hibah kepada pondok pesantren, tampak dipermukaan sebuah niat dan kebijakan yang bagus, bahkan patut di apresiasi. Tetapi jika dikaji lebih dalam kebijakan ini bersifat fatalistik, parsial, dan berpotensi mencelakai pondok pesantren.
Sebagai contoh, terjadinya pengkolektifan pembuatan akta notaris ponpes oleh OPP menjadi pertanyaan besar, mengapa persepsi Ponpes dibentuk bahwa akta notaris diperlukan seakan-akan hanya untuk menerima hibah. Artinya akselerasi dana hibah yang bertujuan menyelaraskan tujuan pembangunan menjadi tidak efektif karena dipaksakan pendekatannya.
Pembuatan akte notaris penerima hibah menjadi proyek (pasti ada fee pembuatan akte notaris kolektif). Disisi lain pemberian dana hibah juga tidak bisa menjawab akselarasi yang diinginkan terhadap tujuan pembangunan yang diinginkan secara komprehensif. Pendekatan serampangan ini tentu saja berimpliksi kepada pemotongan dan dugaan pemalsuan identitas Ponpes (fiktif) karena diberlakukan hukum, mau duit ga?
Pesantren bukan saja berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, ia telah pula mengkristal menjadi lembaga budaya dan simbol dari sejarah pendidikan itu sendiri. Ada pesantren yang memang tidak memerlukan akta notaris (bertahan dalam identitas tradisional), ada pesantren modern, dan ada pesantren yang menggabungkan unsur tradisional dan modern. Kewajiban pemerintah untuk menjaga identitas pendidikan asli pesantren dengan berbagai variannya yang telah dimulai 200-300 tahun lalu di Nusantara oleh Wali Songo.
Pemprov mestinya menyadari, bahwa kekayaan varian dari ponpes ini memerlukan pendekatan yang berbeda dalam membantu eksistensinya, memerlukan kajian kualitatif yang cukup untuk menilai apa saja hibah yang efektif, serta dalam bentuk apa untuk membantu mereka. Kasus dana hibah 2020 ini tentu saja melukai dan mencelakai karakteristik pesantren yang selama ini hidup bersahaja.
Menjadikan dirinya sebagai identitas budaya dan sejarah yang tidak bersinggungan sama sekali dengan proposal, karena mereka berharap hanya dijaga dan dipelihara oleh Yang Maha Agung. Tidak terbiasa dengan tata administrasi modern dengan berbagai tetek bengek pelaporan, bukan karena mereka tidak bisa, namun karena kultur trust dan keteladanan adalah pembelajaran yang lebih penting dari hal-hal yang bersifat prosedural dan formal sebagai metode pembelajarannya.
Lalu apakah ponpes seperti ini akan terseret menjadi tersangka?. Terseret kasus pemotongan juga?
Saya yakin, sebelum dana hibah ini digulirkan, logikanya pasti ada pembicaraan, percakapan, penyikapan, dan persiapan yang mengarah kepada kehati-hatian agar dana hibah tersalurkan dengan baik, tidak dikorupsi. Namun yang membuat penasaran, dalam sikap kehati-hatian tersebut apa langkah yang sesungguhnya dipersiapkan? Sejauh mana kehati-hatian ini terkoordinasikan? Karena hasilnya “kecolongan” juga.
Mungkin wajar jika pembenaran yang muncul adalah menunjuk kepada oknum, namun setiap kali Pemprov seolah menjadi pecundang. sangat miris melihatnya, pemimpin seakan tak berdaya, mentalitas birokrasinya tak pernah berubah dari jargon ke jargon reformasi birokrasi, dari award ke award, baik penghargaan yang terkait dengan pencegahan korupsi maupun inovasi. Perubahan yang nampak dari birokrasi di Provinsi Banten hanya perubahan, siapa menjabat apa, karena dekat orangnya siapa?
“Selamat bertemu pada kasus korupsi berikutnya”
Tentang Penulis: Ikhsan Ahmad merupakan Akademisi Kampus Univeristas Sultan Agung Tirtayasa, Serang-Banten.
Editor: Birin Sinichi
Ilustrator: Bd Chandra