Oleh: Anton Purwanto
hipptesa.id – Gelaran Pilkada Kabupaten Pandeglang tahun 2020 telah usai, bupati dan wakil bupati terpilih telah dilantik. Tapi bukan berarti genderang politik arus bawah juga usai. Pertarungan politik arus bawah terus berlanjut dengan diselenggarakannya pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak di tahun 2021 ini. Kabupaten Pandeglang, merupakan satu dari sekian daerah yang melaksanakan Pilkades serentak tahun ini. Tercatat sebanyak 207 desa akan melaksanakan pemilihan pada tanggal 18 Juli mendatang.
Pemilihan kepala desa adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa dalam rangka memilih kepala desa yang besifat langsung, umum, bebas, rahsia, jujur dan adil, demikian bunyi pasal 1 ayat 5 peraturan menteri dalam negeri nomor 112 tahun 2014. Asas luber jurdil pada Pilkades tak ubahnya seperti pemilihan kepala daerah atau pemilu. Maka kelangsungan, keumuman, kebebasan, kerahasiaan, kejujuran dan keadilan dalam Pilkades mesti diwujudkan dengan serangkaian aturan dan komitmen semua pihak memegang asas tesebut dalam melaksanakan pemilihan kepala desa. Dilihat dari regulasiya, pemilihan kepala desa tidak sekompleks Pilkada atau Pemilu.
Pemilihan kepala desa diatur melalui:
1. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
2. PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri 112/2014
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Permendagri 112/2014
6. Surat Edaran Mendagri nomor 141/6698/SJ tertanggal 10 Desember 2020
7. Perda Nomor 1 Tahun 2015 Kabupaten Pandeglang tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desacar
8. Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa di masa Pandemi Covid-19
9. Surat Instruksi Bupati Pandeglang nomor 141/851-DPMPD/2021 tertanggal 29 April 2021
Model pemilihan kepala desa mengalami perkembangan dari masa ke masa, keserentakan Pilkades diatur dalam pasal 31 UU 6/2014. Untuk memperkuat aturan tentang UU Desa ini, maka lahirlah PP 43/2014 dan Permendagri 112/2014 yang secara khusus mengatur tata cara Pilkades. Pada prosesnya, Permendagri ini kemudian diubah melalui Permendagri 65/2017 yang didalamnya mengubah dan menghapus beberapa hal yang ada di Permedagri lama. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 128/PUU-XIII/2015 yang mengkabulkan beberapa tuntutan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang menguggat penghapusan mengenai ‘terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 tahun sebelum pendaftaran’ yang diatur Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat 1 huruf c UU Desa. Keputusan ini kemudian menjadi hal yang paling mencolok dengan diperbolehkannya seluruh warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri di seluruh desa di Indonesia, tanpa ada syarat harus terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 tahun sebelum pendaftaran.
Pelaksanaan Pilkades serentak tahun 2021 ditengah pandemi covid-19, membuat pemerintah menerbitkan perubahan kedua atas Permendagri 112/2014 yaitu Permendagri 72/2020, perubahan tersebut spesifik mengatur tentang pelaksanaan Pilkades serentak di masa pandemi covid-19. Bahkan, Kemendagri menerbitkan SE 141 untuk mengatur jumlah pemilih di TPS pada saat pemungutan suara Pilkades. Yaitu paling banyak 500 pemilih, sehingga berdampak pada jumlah TPS.
Berdasarkan kajian Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP), Rabu 2 Juni 2021, setidaknya terdapat dua persoalan yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak yaitu persolan regulasi dan persoalan pelaksanaan tahapan.
Persoalan Regulasi
Untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala desa yang berkepastian hukum, tentu seluruh aturan pelaksanaan pemilihan kepala desa mesti diatur secara rinci sehingga tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Sementara sesuai amanat UU desa, teknis penyelenggaraan Pilkades diatur melalui perda dan perbup, sehingga dituntut untuk mengatur secara rigit mekanisme pemilihan kepala desa. Berdasarkan analisis yang dilakukan JRDP terhadap Perda 1/2015 dan Perbup 7/2021, tidak cukup menjelaskan secara teknis dan pada gilirannya menimbulkan multi tafsir di lapangan.
Pertama, dalam tahapan daftar pemilih misalnya, berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat 2 huruf d Permendagri 112/2014 dan pasal 9 huruf e Perda 1/2015 yang berhak memilih pada pemilihan kepala desa adalah penduduk yang berdomisili di desa sekurang kurangnya 6 bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau surat keterangan penduduk, namun dalam perbup yang seharusnya mengatur secara teknis hal tersebut, tidak dijelaskan lebih rinci terkait pihak yang berwenang menerbitkan surat keterangan penduduk tersebut, apakah RT/RW, desa, kecamatan, atau dinas kependudukan dan pencatatan sipil? Akurasi daftar pemilih ini menjadi penting karena dalam Pilkades yang berhak memilih hanyalah mereka yang tertera dalam DPT. Sementara warga yang memiliki KTP elektronik desa namun namanya tidak ada dalam DPT, tidak dapat menggunakan hak pilih. Aturan ini dipercaya akan menjadikan polemik di tengah masyarakat pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
Lalu apa urgensinya? Urgensinya tentu saja untuk menjamin asas jujur dalam Pilkades, bayangkan jika panitia pemilihan kepala desa menafsirkan aturan tersebut secara serampangan, sehingga penduduk desa lain dapat membuat surat keterangan penduduk melalui RT/RW atau desa, sementara RT/RW atau desa tidak pernah memastikan penduduk tersebut benar berdomisili di desa yang sedang melaksanakan pemilihan atau tidak. Sehingga potensi mobilisasi pemilih “siluman” dapat terjadi.
Kedua, pada tahapan pendaftaran dan penetapan pemilih, dalam Permendagri 112/2014 masuk dalam persiapan tahapan, namun dalam Perda 1/2015 pendaftaran dan penetapan pemilih masuk pada tahapan pencalonan. Waaupun dalam Perbup 7/2021 pendaftaran dan penetapan daftar pemilih masuk dalam tahapan persiapan. Hal tersebut tentu membuat kebingungan dalam memahami regulasi Pilkades karena tidak liniernya aturan pilkades.
Ketiga, persoalan Permendagri 65/2017, pasal 21 poin g yang dihapus, yang sebelumnya dalam Permendagri 112/2014 berbunyi calon kepala desa wajib terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang satu tahun sebelum pendaftaran dihapus dan dianggap tidak berlaku. Artinya, seluruh warga negara Indonesia dapat mencalonkan diri di desa manapun sesuai keinginannya, namun Perbup 7/2021, tidak mengakomodasi hal tersebut, itu terbukti tidak adanya aturan turunan yang mengatur mekanisme atau teknis pencalonan oleh calon yang berasal dari di luar desa/daerah secara spesifik.
Keempat, persoalan lainnya terdapat pada persyaratan calon diantaranya fotocopy ijazah yang sudah di legalisir dengan ketentuan fotocopy ijazah tersebut dilegalisasi oleh sekolah yang menerbitkan ijazah dan kepala dinas pendidikan atau kepala kantor kementerian agama kabupanten/kota. Hal tersebut tentu bertentangan dengan Permendikbud 29/2014 tentang pengesahan fotocopy ijazah/Surat tanda tamat belajar, surat keterangan pengganti ijazah/tanda tamat belajar dan penerbitan surat keterangan pengganti ijazah/surat tanda tamat belajar jenjang pendidikan dasar dan menengah yang mensyaratkan legalisir ijazah/STTB oleh satuan pendidikan yang mengeluarkan ijazah/STTB yang bersangkutan.
Artinya, sarat pencalonan kepala desa berupa legalisir ijazah/STTB harusnya cukup oleh sekolah yang menerbitkan ijazah tersebut, kecuali bagi sekolah, SKB atau PKBM yang telah ditutup dapat melakukan legalisir kepada dinas pendidikan.
Kelima, dalam pemilihan kepala desa serentak, aturan mengenai sanksi tidak kalah menarik untuk dibahas. Misalnya sanksi bagi pelanggaran tahapan kampanye sesuai pasal 31 Permendagri 112/2014 hanya berupa peringatan tertulis dan penghentian kegiatan kampanye. Sementara pada Permendagri 72/2020, larangan pelanggaran protokol kesehatan covid dikenakan sanksi diskualifikasi. Tentu saja ini ironis karena pada hal yang bersifat pokok, seperti tindakan politik uang, sama sekali tidak dibebankan sanksi, namun bagi pelanggaran protokol kesehatan yang sebetulnya sudah ada aturan tertulis resmi di UU kekarantinaan kesehatan, malah diperkuat dalam permendagri.
Penanganan Pelanggaran
Hal krusial lain yang berkenaan dengan Pilkades adalah mengenai mekanisme penyelesaian pelanggaran. Diketahui bahwa regulasi tidak mengatur bagaimana jika terjadi sengketa proses antara peserta pemilihan dengan penyelenggara, atau antar peserta dengan peserta. Misalkan berkenaan dengan tahapan kampanye dan penyusunan daftar pemilih. Tidak adanya lembaga khusus yang dibentuk guna melakukan pengawasan tahapan Pilkades, membuat kosongnya ruang peserta untuk melakukan sengketa proses. Berikutnya adalah bahwa regulasi memberi kewenangan kepada bupati untuk bertindak sebagai pengadil manakala terjadi perselisihan hasil Pilkades. Hal demikian membuat kuasa bupati dapat digunakan sesuai selera politik. Jika misalkan yang mengajukan gugatan adalah kandidat yang tidak direstui oleh bupati, bukan tidak mungkin bupati akan memutus pengesahan hasil. Namun sebaliknya, jika yang melakukan gugatan adalah kandidat yang sedari awal tampil sebagai pemenang oleh bupati, bulan tidak mungkin bupati dapat memutuskan dilakukannya pemilihan suara ulang. Perlu ada lembaga ad hoc yang diberi kewenangan menangani sengketa proses dan hasil Pilkades. Dan lembaga tersebut berisi personel yang dipilih, tidak mengikutsertakan unsur pemerintah di dalamnya.
Demikian ulasan JRDP yang dapat disampaikan semata demi tewujudnya demokratisasi di desa yang ditandai dengan Pilkades yang berintegritas. Bagaimana mungkin, seorang kepala desa kelak memimpin harus menjalankan fungsi eksekutif atas APBDes, namun dihasilkan lewat kompetisi politik yang alakadarnya. Secara kelembagaan desa didesain menjadi pemerintahan yang modern, adaptif, dan transparan, namun dipimpin oleh kepala desa yang dihasilkan lewat Pilkades yang jauh dari prinsip luber jurdil.
Tentang penulis: Anton Purwanto merupakan Badan Pekerja Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) Pandeglang