Oleh: Fikri Maswandi
hipotesa.id – Tepat pada 12 mei 2021 menjadi tanggal keramat. Masa jabatan WH-Andika berumur empat tahun. Usia yang cukup untuk membuktikan langkah kongkrit demi kemajuan Provinsi Banten. Namun, ironi ketika melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi. Segala cita-cita yang di gaungkan pada pilkada 2017, seakan hanya menjadi ilusi.
Reformasi birokrasi dan clean and goodgovernance menjadi kedok bagi kelanggengan pemerintah yang hanya punya orientasi terhadap uang. Tidak ada niatan baik untuk benar-benar memperbaiki Provinsi Banten dengan berbagai persoalannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua mega korupsi di Provinsi Banten.
Hebohnya kasus dugaan pengadaan lahan kantor Samsat Malingping dan pengampakan dana hibah pondok pesantren tahun 2020, membuat masyarakat Banten terkejut dan mempertanyakan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberikan kepada Pemprov Banten.
Mengenai Pungutan liar (pungli) dana hibah kepada ponpes dari Pemrpov Banten bukan terjadi kali ini saja, sekitar sepuluh tahun lalu, kejadian serupa pernah terjadi dan motifnya hampir serupa. Ada banyak penerima fiktif dalam kasus dugaan penyelewengan penyaluran dana hibah pondok pesantren (ponpes) di Banten tahun anggaran 2020 senilai Rp117 miliar.
Seyogyanya, lembaga ponpes tidak boleh dirusak oknum yang memanfaatkannya sebagai ladang untuk merampok! Sudah seharusnya kasus korupsi bansos ponpes dibuka terang benderang. Lantaran Provinsi Banten masih saja menjadi daerah rawan korupsi. Tiga nama yang sudah ditetapkan hanya tersangka kecil saja. Kami menduga adanya pelaku yang lebih besar. Aroma korupsi dipusaran dana hibah ponpes sangat kuat, sehingga perlu dibongkar aktor-aktor jahat yang merugikan masyarakat Banten.
Dengan terkuaknya indikasi korupsi dana hibah pondok pesantren, muara maupun titik permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari pada peran Wahidin Halim selaku Gubernur Banten. Sebab, pengesahan dan pemberian hibah dari APBD ditandatangani langsung oleh Gubernur. Berdasarkan Pergub Banten nomor 10 tahun 2019, tentang pedoman pemberian hibah dan bansos yang bersumber dari APBD. Dalam Pasal 16 ayat 1 tertulis, setiap pemberian hibah dituangkan dalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) yang di tandatangani bersama Gubernur dan penerima hibah. Selayaknya, Gubernur Banten harus bertanggung jawab!. Sebab, ia tidak paham Pergub ciptaannya sendiri.
Sementara, berdasarkan pernyataan Gubernur Provinsi Banten yang mengatakan bahwa tidak adanya tim verifikasi dana hibah ponpes 2020. Pernyataan demikian mesti diusut oleh Aparat Penegak Hukum (APG). Apakah hal ini sebuah kelalain, pembiaran atau kesengajaan?, Selanjutnya dalam pasal 8 ayat 2, tertulis bahwa evaluasi terhadap permohonan hibah, paling tidak harus dilakukan verifikasi persyaratan administrasi!
Selayaknya, Gubernur Banten harus bertanggung jawab! Sebab, ia tidak paham Pergub ciptaannya sendiri. Masih mengacu pada Pergub Banten nomor 10 tahun 2019 pada pasal 8 ayat 2. Poin terpentingnya yaitu di point C; melakukan survei lokasi. Survei lokasi ini harus dilakukan guna tidak adanya pesantren fiktif. Tetapi, sebanyak 716 pesantren diduga fiktif dari total penerima hibah pesantren tahun 2021 sebanyak 4.042 pesantren. Maka, sebaiknya penegak hukum turut serta memeriksa sejumlah pejabat di lingkup Pemprov Banten agar kasus korupsi hibah bisa terbuka lebar. Padahal kita tau nasib seluruh rakyat Banten, menjadi tanggung jawab Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten.
Tentang penulis: Fikri Maswandi, Kordinator Umum Komunitas Soedirman 30 (KMS 30)