Pada tahun 429 H, Jalal al-Daulah bin Baha’ al-Daulah dari Daulah bani Buwaih meminta penambahan julukan dengan tambahan syahansyah yang berarti malik al-muluk (raja diraja).
Hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan ahli fiqh bagdad, sebagian memperbolehkannya misalnya Abu Thayyib al-Thabari dan sebagian tidak memperbolehkan gelar itu.
Al-Mawardi dalam hal ini memberikan fatwa sepakat dengan kalangan yang tidak memperbolehkan dengan alasan gelar itu hanya milik Allah.
Akhirnya, Hubungan al-Mawardi dengan Jalal al-Daulah setelah memfatwakan itu mengalami kerenggangan hinga al-Mawardi memutuskan tidak keluar rumah dari ramadhan hingga ‘id al-adha.
Setelah empat bulan terlewati, Jalal al-Daulah memanggil al-Mawardi untuk datang ke istana. Dengan rasa takut, al-Mawardi memenuhi panggilan itu.
Setibanya di kerajaan, Jalal al-Daulah tidak memarahinya tetapi sebaliknya sang raja memuji al-Mawardi karena ketegasannya dan keberaniannya dalam mengatakan kebenaran. Setelah itu, al-Mawardi merasa lega kemudian berterima kasih lalu mendoakan Jalal al-Daulah.
Setelah kejadian tersebut, pada tahun yang sama al-Mawardi dengan keluasan ilmunya dan keberaniaannya menghantarkan ia pada kekaguman semua orang, baik kalangan masyarakat ataupun pemerintah.
Hingga ia diberi gelar aqdha al-qudhat (hakim agung) oleh khalifah pada tahun 429 H. Hal ini sontak membuat beberapa ulama tak menyetujuinya seperti Abu Thayyib al-Thabari dan al-Shaimari dengan alasan gelar aqdha al-qudhat hanya berhak dimiliki oleh Allah.
Padahal Abu Thayyib al-Thabari ketika diminta pendapat untuk memberikan gelar malik al-muluk pada raja, ia memperbolehkannya. Al-Mawardi tidak terlalu merespon protes kalangan ahli fiqh tersebut karena bagi al-Mawardi mereka yang memprotesnya adalah mereka yang sebelumnya membolehkan gelar malik al-muluk untuk disematkan pada Jalal al-Daulah. Gelar inipun disandangnya sampai akhir hayatnya.