Opini, Hipotesa.id – Secara teoritis, munculnya politik identitas merupakan penomena yang disebabkan oleh banyaknya factor seperti, aspek structural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang telah memberikan alasan pembenaran politik upaya pemisahan diri sebuah kelompok primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik.
Menurut Cressida Heyes, politik identitas sebagai penandaan aktivitas politis dalam penegertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukanya pengalam-pengalama ketidak adilan yang dialami bersama anggota-anggota dari kelompok-kelompok social tertentu,(Josep: 2018).
Dalam perakteknya, lahirnya dari rasa yang dimiliki sama seperti ras, suku, agama dan budaya menjadi tanda atau bentuk identitas dalam kelompok, situasi ini menjadi efektik, karena symbol ini pasti dimiliki oleh semua orang, dan dimanfaatkan elit politik dalam menjaga keukauatan, apalagi digunakan dalam ritme perpolitikan, yang disebut politik identitas.
Rekayasa Politik Identitas
Politik Identitas adalah rekayasa politik yang dilakukan oleh para minoritas elit politik, yang mencoba merusak nilai-nilai luhur Pancasila yang dalam bingkai bhinneka tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu tujuan, sedangkan jika (playing victim) politik identitas ini terus merajut dalam ritme perpolitikan di Indonesia.
Hal ini akan menjadi pemicu perpecahan dari kerukunan yang sudah kokoh hidup dalam masyarakat Indonesia, sikap primordiallistik atau kesukuan yang hanya peduli dengan kondisi suku atau rasnya saja, ataupun sesuai dengan agamanya saja membuat kondisi politik yang kurang sehat.
Jika melihat tulisannya Prof.Dr. M. Arskal Salim GP, yang berjudul “kesalahpahaman tentang politik identitas” disini Ia, mecoba mengklarifikasi tentang konsep pemahaman tentang politik identitas yang menurtnya, banyak ke gagalan dalam memahami politik Identitas. Ia, memberikan klarifikasi tentang kesalahpahaman konseptual yang memiliki konsepsi, bahwa Politik identitas bisa dimainkan oleh mayoritas.
Klarifikasi dari kesalahpahaman di atas adalah sebagai berikut, politik identitas tidak lazim dimainkan oleh kelompok mayoritas yang sebenarnya memiliki akses lebih, atau bahkan privilege dibandingkan kaum minoritas. Perlu dicatat, politik identitas oleh kelompok minoritas kerap memanfaatkan dan memperlihatkan posisi sebagai korban (playing victim) dari sistem yang represif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas. Bagaimana mungkin kelompok mayoritas dengan privilege kemudian mem-frame diri sebagai korban? (M. Arskal Salim: 2022).
Islam itu Inklusif.
Agama selalu menjadi bahan utama dalam berkampanye politik, untuk menjaga simpatisan suara dalam rekayasa politiknya, maka perlu adanya protect yang harus dilakukan para pemimpin ummat untuk menjaga nilai. Agar agama, suku dan ras tidak menjadi bulan-bulanan dalam politik identitas.
Agama Islam di Indonesia menajadi mayoritas, jika Islam tidak inklusif mungkin tidak ada agama lain di Indonesia selain Islam, maka muslim selalu bisa bealajar hidup bersama, baik perbedaan kepercayaan, suku dan ras. Karena Islam adalah agama yang Inklusif.
Seperti, ketika salah satu ketua partai politik mengklam memiliki suara NU. Langkah tegas yang dilakukan NU menjadi percontohan bagi golongan-golongan dan kelompok kemasyarakatan dalam mengahadapi pemilu 2024, bahwa jangan bawa-bawa NU untuk kepentingan partai politik, hal itu dilakukan untuk sama-sama menjaga stabilitas negara dalam bingkai bhinneka tunggal Ika, bahwa kita semua bersaudara, karena kita harus menjaga persaudaraan sesama manusia (humanity) dan persaudaraan seumat dan sebangsa (nasionalisme).
Melihat kasus politik Indonesia, sempat terjadi jargon-jargon yang spektakuler, bahwa Pancasila adalah Soekarnois dan Nasionalis, buat mereka yang negarawan. Sedangkan para kaum minoritas, membuat playing victim seolah menganggap itu sebagai bentuk yang tidak Islamis, yang mencoba untuk membuat suatu gerakan politik, seperti partai-partai Islam.
Hal itu terlihat, dan menjadi kultus politik identitas, yang digunakan dalam berkampanye. Jika kita melihat pernyataan, Nurcholish Madjid ” Islam Yes, Partai Islam No”. Ia Mencoba menyatakan bahwa Islam atau muslim memang harus terlibat dalam politik, namun jika Islam di polarisasi kepentingan kelompok elit politik saja itu yang tidak boleh.