Opini – Penegakan dari rakyat seolah menjadi pemberontakan, suara itu dianggap pemberontakan. Seolah, jika suatu tuntutan yang lahir dari keluhan rakyat. Padahal suatu gerakan-gerakan perlawanan pasti bermula dari segelintir populasi yang tidak menerima diskriminiasi, tekanan dan pembodohan publik.
Sedangkan penegakan dari istana seloah menjadi pembantaian, seolah aparat selalu benar dan tak pernah mau mendengar. Kemarin kita di hebohkan dengan kanjuruhan, seperti holocaust abad baru di negara ini, sampai 133 meninggal, 596 luka ringan dan sedang, serta 26 lainya luka berat. Banyak tragedi yang misteri. Seperti peristiwa 1965-1966 kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985, kerusuhan mei 1988 dilanjut dengan peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II.
Seolah terkesan yang melawan adalah “musuh” yang harus di musnahkan dalam alam semesta, termasuk di negara ini rupanya. Padahal kata musuh dan lawan, kedua kata itu berbeda. Hanya kita sering melupakannya. Kita misalnya tidak bisa mengatakan “musuh kata”: Melainkan “lawan kata”. Misalnya juga, tidak bisa mengatakan, “Siapakah musuhmu bercakap-cakap tadi?”,melainkan “Siapakah lawanmu bercakap-cakap tadi?. (GoenawanMohamad).
Dengan kata lain: dalam pengertian lawan, tidak ada antagonisme yang total. Rakyat mengkritik Negara, bukan sebagai musuh, melainkan melawan kesewnang-wenangan aturan yang tidak pro rakyat, entahlah semua kebijakan dipertimbangkan dan di filterisasi oleh para punggaawa Negara saja, dan hasilnya pun, seolah hanya untuk kepentingan para punggawa saja.
Misalkan undang-undang yang memperbolehkan koruptor ikut dalam kontestasi politik lagi, ditambah dengan revisi undang-undang KPK yang ujungnya bermuara pada punggawa Negara saja bukan terhadap sijelata. BPJS dinaikan menuai pelawanan dari rakyat tetap saja di kukuhkan, pemindahan Ibu Kota bahkan yang memerlukan biaya sangat besar, dan banyak pula yang tidak setuju. Omnibuslaw UU Ciptaker yang merajut peristiwa gerakan mahasiswa, persolan kegamangan tentang sisitem pemilu 2024, padahala Ukraina dan Rusia yang tak selasai mengarahkan kita kepada persoalan pasokan pangan.
Aturan-aturan baru semakin kesini, semakin kesana, tak gundah atas penolakan dari rakyat, “yo wis” gas terus tak usah “openi” kemarin kenaikan BBM misalnya ini tuh, jojong saja gitu.
Tapi terus saja dilakukan hingga lupa bahwa masih banyak persoalan yang lebih penting yang harus diselesaikan, namun jawatan Istana tetap saja melakukanya. Sungguh miris memang. Ketika ribuan mahasiswa turun kejalan mulai bersuara, baik di daerah-daerahnya sampai berkumpul hingga menuju ibu kota Negara.
Kita melihat, ribuan pelajar turun dengan nalar dan keresahan bersama. Namun itu tanpa ada hirauwan yang serius atau respondsip yang baik oleh para jawatan Negara, perjuangan mereka hanya dianggap sebagai nostalgia saja oleh para orator ulung jalanan tahun 98 yang sekarang jadi orator elitis (duduk di parlemen).
Kematian atas tragedi di era reformasi sungguh hanya jadi bentuk empaty semata, tindakan yang jelas atas terbunuhnya mahasiswa dan hilangnya nyawa seorang manusia di Negara yang sangat memegang teguh asas-asas terkait HAM itu seolah hilang.
Kasus HAM banyak yang tak terselesaikan di Negara yang beradab ini. Lantas apa kerjaan para jawatan Negara yang mempunyai amanah beban dari seluruh rakyat. Lantas apakah isu-isu kekacauwan reformasi ini bisa menghilang begitu cepat, seolah semua itu berhenti, kekcauan, suara yang mulai redup, menju ceremonial besar yaitu pemilihan yang akan berkuasa di Negara ini.
Bentuk setcholder daerah-daerah lain seolah mendekati para mahasiswa ataupun pemuda ditawarkan lah satu forum-forum dialektika yang semua bugeting kegiatan di fasilitasi, sehingga mereka dialihkan perhatianya dari tuntutanya dan suara lantang yang dilakukanya dijalanan.
Terlihat suatu gerakan yang exstrimis dan meriugikan para jawatan Negara di abad ke 21. Melalui digitalisasi yang mempermudah segala aktivitas yang mengikis ruang privasi individu, semua akan lebih mudah terakses diketahui oleh public. Para jurnalis dan media-media televisi maupun cetak selalu menberitakan segalain formasi yang ada.
Dari kecelakan lalulintas, kecelakaan sisitem Negara, kecelakaan berpikir bahakan samapai kecelakan memberita kan sesuatu yang benar terjadi, karena berbagai alasan. Seolah dianggap berbahaya pengujar kebencian, hoaxs dan segala macam, sehingga ketundukanlah yang diperbuatnya, lumayan bisa ganajal perut sebentar.
Benar memang, apa yang disampaikan oleh founding father Negara ini, aku akan lebih meudah melawan musuh, karena bangsa asing yang kulawan, sedangkan kalian akan lebih sulit melihat musuh karena akan melawan teman sebangsa mu sendiri.
Aduhai alangkah kuatnya pergerkan kita sekarang, umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya, kita tidak rusak susunan sebagai mana seakrang ini. Niscaya pergerakan kita lebih maju, walaupun rintangan bagaimanapun juga. Kata nasionalisme, terkesan hanya sebagai pelajaran dikelas saja.
Implemnatsi hanya segelintir populasi yang mempunyai idealisme diatas keindahan materi dan kebegahan parut sendiri. Para pimpinan organisasi-organisasi mahasiswa dan bentuk organisasi mahasiswa sedang dipertanyakan peran dan fungsinya kemana? Apakah mereka ikut kongkow-kongkow dengan abang-abangnya yang sudah duduk di kursi parlemen?. Mungkin hanya nilai cinta atas bumi pertiwi dengan asas gotong royong yang bisa mempersatukan kedaulatan.
Penglihatan dari pelosok negeri yang kecewa atas drama.