Serang, hipotesa.id – Forum Pitulasan merupakan ruang diskursus yang membahas soal isu-isu kebangsaan, merawat dan melestarikan Keindonesiaan dengan meneguhkan 9 Nilai Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang digagas oleh Penggerak GUSDURian Banten.
Cilegon merupakan salah satu Kota yang ada di wilayah Provinsi Banten, menurut sumber data Setara Institute mencatat Cilegon sebagai kota yang selalu masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran selama lima kali; nomor 15 dari bawah pada 2015, nomor empat dari bawah pada 2017 dan 2018, nomor delapan dari bawah pada 2020, dan nomor tiga dari bawah pada 2021 lalu. Tolak ukur intoleransi sebuah kota yang digunakan dalam riset tersebut adalah kebijakan pemerintah, termasuk ucapan dan tindakan pejabat setempat.
Jaringan GUSDURian Banten melalui Forum Pitulasan menghadirkan 3 Narasumber yaitu dari Masyarakat Gerem Kota Cilegon, Ketum Cabang GMKI Serang dan Rumah Moderasi Beragama UIN SMH Banten yang diselenggarakan setiap bulan, menyoroti isu-isu terkini yang sedang hangat dengan mengusung tema yang bertajuk “Polemik Pembangunan Rumah Ibadah di Kota Cilegon, Ada Apa Sih?” bertempat di Cafe Kinamona, Cilaku, Kota Serang Banten, pada Minggu (18 September 2022) Malam.
Ali Sobri Masyarakat Gerem Kota Cilegon mengatakan Sebetulnya tidak semua warga Kota Cilegon khususnya warga kelurahan Gerem bersikap intoleran.
Kota Cilegon, khususnya Kelurahan Gerem sejak dulu sampai sekarang kerukunan umat beragama di kelurahan kami berjalan dengan baik dan bisa hidup berdampingan.
“Hanya saja karena warga Kota Cilegon ini sangat kental dengan kultur dan kearifan lokal (local wisdom)”. Kata Sobri
Sobri menuturkan kemudian warga Kota Cilegon juga coraknya sangat religius sehingga walaupun bisa hidup berdampingan dalam kehidupan sosial tapi sangat sulit menerima adanya rumah ibadah umat agama lain, karena mereka berpikir itu akan merusak keimanan mereka.
Padahlakan tidak demikian? Kemudian yang saya lihat dan yang saya dengar dari beberapa informan, bahwa panitia pembangunan rumah ibadah HKBP ini bersifat pemberitahuan bukan perizinan.
“Karena ketika perizinan belum rampung pihak panitia sudah mulai pembangunan, akhirnya ini menjadi pemicu respon masyarakat yang kurang baik, semoga dari sini seluruh elemen-elemen bangsa mampu memahami sosio kultural yang dimiliki oleh Masyarakat Kota Cilegon”. Ungkap Sobri.
Selain itu, Paula Nainggolan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Serang mengatakan kami dari pihak panitia pembangunan Gereja HKBP sudah menemui pihak-pihak terkait seperti pihak Kelurahan, FKUB, dan Wali Kota Kota Cilegon.
Kamipun sudah berusaha untuk memenuhi berkas persyaratan, diantara salah satunya meminta persetujuan dari masyarakat setempat kaitannya dengan meminta tanda tangan sebanyak 70 orang.
“Akan tetapi di tengah perjalanan ada beberapa yang mencabut tanda tangannya tersebut, sehingga tidak sesuai apa yang kita harapkan”. Ujar Paula.
Kendati demikian, Salim Rosyadi Sekretaris Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN SMH Banten mengatakan permasalahan penolakan rumah ibadah yang terjadi di berbagai daerah seperti gereja, pura, vihara bahkan masjid yang pernah terjadi di daerah timur sana.
Sebetulnya adanya faktor dominasi yang sangat kuat, dalam artian masyarakat minoritas harus tunduk sepenuhnya pada masyarakat mayoritas dan ini hampir terjadi di setiap daerah yang nilai toleransinya rendah.
“Sejatinya, padahal agama di mata Negara itu setara. Semua warga berhak memiih agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing sebagaimana substansi amanah UUD 1945 yang termaktub dalam Pasal 29 Ayat 2”. Kata Salim.
Masih ditempat yang sama, Nita Andriani Penggerak Jaringan GUSDURian Banten menjelaskan sejatinya polemik yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan dengan pemicu dari sikap Pemkot Kota Cilegon yang seharusnya mampu menjadi solusi justru dinilai sangat blunder, seperti tidak memahami bahwa jabatan yang ia kendalikan hari ini adalah sebagai pelayan masyarakat.
Sebagai orang yang diamanahi masyarakat, sudah jelas seharusnya mengemban konstitusi bangsa ini yaitu UUD 1945 yaitu menjamin kemerdekaan seluruh bangsa dalam menjalankan ritual ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
“Dalam kajian internal di Jaringan GUSDURian Banten, kami meminta pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006” Kata Nita.
Nita menuturkan dalam aturan Peraturan Bersama atau SKB 2 Menteri tersebut seolah-olah yang bertagar adalah masyarakat bukan Negara yang mengaturnya.
Semoga segera dievaluasi kembali terkait dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 agar terciptanya jaminan kemerdekaan titiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya, pungkas Nita. ***